Rabu, 21 Maret 2012

Erick, Broker Cari Untung?


SALAH satu sales dan broker pialang di PT Bahana Securities Erick Jazier Adriansyah (38) ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka penyebar berita bohong. Ia menyebut lima bank di Indonesia mengalami masalah likuiditas dan kegagalan dalam menyelesaikan transaksi antar bank. Informasi itu ia sebar lewat email atau surat elektronik. Hasilnya, Jumat (14/11) dunia perbankan heboh. Kabar lonceng kematian sejumlah perbankan di Indonesia segera berkembang cepat sampai ke luar negeri. Pelaku perbankan dan pemerintah dibuatnya panik. Semua takut, kabar itu akan memperparah kondisi perekonomian Indonesia. Takut akan terjadi penarikan uang besar-besaran dan pemilik modal memindahkan dananya ke luar negeri.
Polisi segera menyusuri dari mana informasi yang menyesatkan dan mencemaskan semua pelaku ekonomi tersebut. Di tengah-tengah kecemasan, BI segera mengeluarkan pernyataan bantahan terhadap isu itu. Tapi tanpa adanya bukti tersangka penyebar berita bohong tersebut tertangkap, publik akan meragukan bantahan BI. Untung, hanya dalam 1X24 jam, pelakunya sudah tertangkap. Erick, seorang broker pialang yang menyebarkannya.
Apa motif seorang broker menyebarkan isu yang sampai mengancam perekonomian bangsa ini? Apakah ia kerja sendiri atau ada pihak lain di belakangnya? Polisi belum dapat memastikan. Namun dari hasil penyidikan sementara, Ercik melakukan itu hanya untuk memberi informasi kepada kliennya, sehingga kliennya berhati-hati agar tidak mengalami kerugian besar.
Menurut Kanit V IT dan Cyber Crime Direktorat II Ekonomi Khusus (Eksus) Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Kombes Petrus Reinhard Golose, tindakan Erick sebatas itu sebenarnya sebagai hal yang wajar mengingat ia seorang broker. Tapi yang jadi masalah, berita itu salah dan dipersepsikan lain. Berita itu kemudian juga berkembang luas. Ini akan mengoyahkan bisnis perbangkan. Padahal bank- bank itu sehat," katanya, Minggu (16/11).
Lima bank yang diisukan oleh Erick mengalami kesulitan likuiditas itu adalah Bank Panin, Bank Bukopin, Bank Artha Graha, Bank CIC, dan Bank Victoria. Sejauh ini Erick mengaku tidak ada orang lain yang terlibat. Tindakan itu atas inisiatif sendiri, setelah ia menerima informasi dari broker lain yang belum ia cek kebenarannya.
Tanpa check and re check, Erick langsung menyampaikan informasi itu kepada orang lain melalui surat elektronik. "Itu pengakuannya. Tapi kami akan terus mencaritersangka lainnya dan kemungkinan adanya pihak-pihak yang berdiri di belakang Erick untuk menyebar kepanikan pelaku ekonomi," kata Petrus Golose.
Rabaan Petrus Golose tentang kemungkinan adanya pihak tertentu di belakang Erick cukup beralasan. Di bursa saham, seringkali broker atau pihak-pihak tertentu yang ingin meraup keuntungan besar, memainkan kepanikan semacam ini. Tujuannya, agar harga saham jatuh dan mereka bisa membeli dengan harga murah.
Tapi apapun motivasinya, Erick bakal mendekam di penjara dengan pelanggaran pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang informasi transaksi dan elektronik (IT). Ia terancam hukuman enam tahun penjara. Sejak Sabtu (15/11) dia sudah menghuni tahanan Bareskrim Mabes Polri. Dan yang pasti, ia tidak bakal bisa menikmati apa-apa dari kepanikan dunia perbankan Indonesia kemarin. (Sumber : KOMPAS)

Cybercrime Pada Perbankan


Saat ini pemanfaatan teknologi informasi merupakan bagian penting dari hampir seluruh aktivitas masyarakat. Bahkan di dunia perbankan hampir seluruh proses penyelenggaraan sistem pembayaran telah dilaksanakan secara elektronik (paperless). Perkembangan teknologi informasi itu telah memaksa pelaku usaha mengubah strategi bisnisnya dengan menempatkan teknologi sebagai unsur utama dalam proses inovasi produk dan jasa. Pelayanan electronic transaction (e-banking) melalui ATM, phone banking dan Internet banking misalnya, merupakan bentuk-bentuk baru dari delivery channel pelayanan bank yang mengubah pelayanan transaksi manual menjadi pelayanan transaksi oleh teknologi. Bagi perekonomian, kemajuan teknologi memberikan manfaat yang sangat besar, karena transaksi bisnis dapat dilakukan secara seketika (real time), yang berarti perputaran ekonomi menjadi semakin cepat dan dapat dilakukan tanpa hambatan ruang dan waktu. Begitu juga dari sisi keamanan, penggunaan teknologi, memberikan perlindungan terhadap keamanan data dan transaksi. Contoh mengenai hal ini adalah pada saat terjadi bencana tsunami di NAD dan Sumatera Utara tahun 2004, serta gempa bumi di Yogyakarta, bank-bank yang berbasis teknologi sangat cepat melakukan recovery karena didukung oleh electronic data back-up yang tersimpan di lokasi lain, sehingga dengan cepat dapat kembali melakukan pelayanan kepada nasabahnya.

Namun demikian, di sisi lain, perkembangan teknologi yang begitu cepat tidak dapat dipungkiri telah menimbulkan ekses negatif, yaitu berkembangnya kejahatan yang lebih canggih yang dikenal sebagai Cybercrime, bahkan lebih jauh lagi adalah dimanfaatkannya kecanggihan teknologi informasi dan komputer oleh pelaku kejahatan untuk tujuan pencucian uang dan kejahatan terorisme. Bentuk kekhawatiran tersebut antara lain tergambar dalam kasus yang menyedot perhatian dunia baru-baru ini yaitu tindakan yang konon dilakukan oleh Amerika Serikat yang melakukan kegiatan mata-mata secara kontroversial untuk melacak jutaan transaksi keuangan milik warganya melalui data SWIFT secara illegal.
(Sumber : Koran Tempo).